Ketika Bumi-Mu Bergetar, Apa yang Mesti Hamba Lakukan?

Menjelang Ashar. Seorang hamba Allah sedang khusyuk membaca Al-Qur'an di dekat mihrab sebuah masjid. Tiba-tiba bumi bergetar. Sontak, lantunan ayat itu berganti dengan takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil. Sementara itu, Al-Qur'an di genggamannya masih terbuka. Di benaknya cuma tebersit: kematian dan hari akhir itu. Ketika getaran itu semakin menghebat, ia seolah tidak berkeinginan untuk segera ke luar masjid. Padahal, dua buah lampu hias besar yang menggantung begitu hebatnya berayun-ayun. Kotak pengeras suara di sudut atas berderak-derak seperti akan jatuh. Namun, ia mantapkan hatinya: biarlah ia mati dalam keadaan beribadah. 

Masya Allah. Mula-mula saya terkagum-kagum dengan kisah hamba Allah tersebut. Terus terang, hal kontras justru kami lakukan pada saat yang sama. Waktu itu, saya sedang asyik membaca buku gratisan di layar. Tiba-tiba kursi yang saya duduki seolah ada yang menarik-narik. Wah, pasti kerjaan Mas Apri atau mungkin rekan-rekan lain sedang iseng… itulah yang terpikir pertama kali. Baru sadar bahwa itu sebuah bencana ketika Kang Habibi mengingatkan: “Enggal ka luar, Pa … ageung (gempanya)!” Sekelebat, saya menyambar hape di samping monitor, segera menuju pintu samping meninggalkan komputer yang masih menyala. Hal yang sama dilakukan rekan-rekan dari ruangan lain. Ya, ketika kepanikan memuncak, kami seolah berlomba untuk segera ke luar ruangan: menyelamatkan diri. 

Kami bergerombol di pinggir jalan dekat gerbang. Bumi-Mu masih bergetar hebat. Karenanya kami pun menyebut Nama-Mu. Kekhawatiran lain menyeruak: terus terang saya takut gempa itu berasal dari bawah gunung. Artinya?! Tiba-tiba teringat keluarga nun jauh di selatan kota ini. Namun, alat komunikasi serentak pingsan: tak ada jaringan. Bagaimana keadaan anak-istri, orangtua, dan saudara-saudaraku? Aku sepenuhnya percaya dengan Kehendak-Mu. Namun, apa daya hamba-Mu yang lemah ini tampaknya terlalu egois mementingkan sekadar nyawa kepunyaan-Mu; takut kehilangan segala titipan-Mu…. Ampuni kami, ya Rabb, jika seolah tidak mau menerima segala ketentuan-Mu…. 

Kontras memang dengan sikap hamba-Mu di masjid tadi. Namun, sebentar… tiba-tiba saya teringat potongan lagu Bimbo tempo dahulu yang liriknya, kalau tidak salah, ditulis Ustadz Miftah Faridl: 

…. 
Pesan Nabi tentang mati, 
janganlah minta mati datang kepadamu 
dan janganlah kau berbuat 
yang menyebabkan mati 
…. 

Entah mengapa saya selalu menyimpulkan: selama hayat masih dikandung badan, kita harus terus berusaha. Pertahankan segala titipan-Nya meskipun nyawa sudah berada “di ujung tanduk”. 

Kekaguman terhadap sikap hamba Allah di masjid tadi perlahan berganti dengan pertanyaan-pertanyaan. Seandainya hari itu bukan kiamat, apakah ia tidak berkeinginan untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari bencana? Seandainya belum takdirnya mati, mengapa ia tidak berusaha mempertahankannya? 

Saya pun teringat dengan ilustrasi lain. Ini disempal dari sinetron religinya Bang Dedi Mizwar, Para Pencari Tuhan Jilid 3. Dikisahkan sang merbot (dalam KBBI: marbut) mushola ngotot ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makkah; semata ingin lebih khusyuk beribadah menjelang ajalnya tiba. Namun, karena suatu peristiwa, ia tersadar bahwa sikapnya itu keliru. Ia mungkin akan hidup tenang di Baitullah, tetapi anak-anak angkatnya akan terabaikan. Mereka (yang masih mencari Tuhannya) masih perlu bimbingan sang merbot. 

Ampuni saya, ya Allah, bila salah menafsirkan tentang ke-istiqamah-an hamba-Mu di masjid tadi. Mungkin saya telah berprasangka buruk. Maafkan.

(Rumah Kreatif Dixi, Selasa 8 September 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesempatan Kedua (Bagian Kedua)

Ternyata Kita Belum Siap